RAGAM, kartamedia.id– Rotasi kepemimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bergulir. Melalui Musyawarah Majelis Syuro 1, Muhammad Sohibul Iman ditetapkan secara aklamasi sebagai Ketua Majelis Syuro PKS periode 2025-2030.
Seorang kader PKS Sulsel berbagi pengalamannya berinteraksi dengan Ketua Majelis Syuro PKS yang baru itu. Berikut kisahnya yang diterima redaksi Kartamedia via whatsapp, Kamis (6/5/2025)
————————————————–
KEPANDUAN DAN KESEDERHANAAN UST H. MOHAMAD SOHIBUL IMAN

By RR Bang Maman
“Kita tidak sedang mencari kekuasaan untuk bermegah-megah, tetapi untuk memikul amanah seberat langit.” ~ Pengantar Dakwah Politik
Di tengah gemerlap politik yang semakin riuh dengan pencitraan, Ust. H. Mohamad Sohibul Iman, Ph.D hadir sebagai sosok yang menegaskan satu hal penting yakni “pemimpin bukanlah raja yang ditinggikan, tapi pelayan yang merendah.” Terpilih sebagai Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk periode 2025–2030, ia tidak hanya membawa ilmu dan pengalaman panjang, tetapi lebih dari itu keteladanan.
Mobil KEPANDUAN, Bukan VIP
Saya masih mengingat betul momen yang tidak akan pernah hilang dari ingatan. Saat itu, Ustadz Sohibul, demikian kami memanggilnya masih menjabat sebagai Presiden PKS periode (2015–2020). Ust Sohibul mendpat undangan menghadiri sebuah acara di Makassar yang diadakan oleh DPW PKS Sulawesi Selatan, saya lupa acara apa waktu itu, dan kami dari KEPANDUAN ditugaskan untuk mengawal ust. Sohibul, selama ust. Sohibul berada di Makassar. Seperti lazimnya tamu VIP, dan kami meminta panitia menyiapkan mobil yang nyaman dan aman untuk menjemput dan mengantar kembali ke Bandara Internasional Sultan Hasanuddin untuk kembali ke Jakarta.
Namun, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Mobil VIP itu entah mengapa tidak tersedia di tempat saat ust Sohibul mau ke bandara. Kami sedikit panik, hingga ust. Sohibul dengan tenang berkata, “Akh, tidak apa-apa, saya naik mobil KEPANDUAN saja.” Kami terdiam. Bahkan saat Ketua DPW menawarkan mobil pribadinya, ust. Sohibul menolaknya dan tetap memilih menaiki mobil KEPANDUAN, dan bergabung bersama kami dalam satu mobil biasa. Seorang Presiden partai, memilih duduk bersahaja tanpa gengsi, bersama para kader. Itulah kemewahan yang sebenarnya, kemewahan akhlak.”
Membawa Tasnya Sendiri
Momen lain kembali menguatkan keyakinan saya bahwa kesederhanaan ust Sohibul bukanlah pencitraan. Dalam dunia kepemimpinan, terkadang keteladanan tidak ditunjukkan dengan kata-kata besar atau aksi panggung yang megah. Ia justru hadir dalam hal-hal kecil, yang sederhana, tapi menyentuh dan bermakna.
Momen itu saya alami sendiri, ketika BPW Indonesia Timur mengadakan kegiatan di Makassar (mengumpulkan anggota legislatif dan pejabat eksekutif dari PKS se Indonesia timur Papua dan Maluku). Dan memilih Makassar sebagai lokasi acara. Kegiatan ini bukanlah agenda resmi DPW PKS Sulawesi Selatan, namun karena yang hadir adalah Presiden PKS, Ust. Sohibul, maka sebagai KEPANDUAN, kami merasa bertanggung jawab penuh atas keamanan dan kenyamanan presiden PKS. karena kegiatan tersebut diadakan di wilayah Sulawesi Selatan
Tanpa menunggu perintah, kami bergerak. Kami berkomunikasi dengan panitia pelaksana dan meminta kepada panitia agar disiapkan fasilitas terbaik dari kendaraan hingga pengawalan. Tim KEPANDUAN kami bentuk secara lengkap yaitu ada yang menjemput di bandara, ada tim PAM VIP untuk pengamanan khusus, dan ada yang tim yang berjaga penuh di lokasi kegiatan. Saya sendiri ditunjuk sebagai koordinator dari seluruh tim pengawal oleh Ketua Bidang KEPANDUAN DPW PKS Sulawesi Selatan.
Pagi itu, saya sudah stand by di lokasi hotel tempat acara pembukaan akan berlangsung. Informasi dari tim penjemput mengabarkan bahwa Presiden akan langsung menuju hotel dari bandara. Saat rombongan tiba, saya memperhatikan dari kejauhan. Dengan langkah tenang, Ust Sohibul keluar dari mobil. Tidak ada gaya mewah, tidak ada aura bahwa ia adalah presiden PKS. Yang justru mencuri perhatian saya adalah… tas kecil selempang yang ia bawa sendiri di pundaknya.
Tas itu melekat erat di bahu kirinya. Tidak ditenteng ajudan, tidak dipegang tim pengawal VIP. Padahal, ajudan resmi dari Jakarta ikut serta dalam rombongan. Mereka berjalan bersama menaiki lift menuju lantai tiga, tempat acara pembukaan digelar. Sepanjang langkahnya, tas itu tak berpindah tangan.
Sebagai koordinator tim keamanan, saya sempat bertanya dalam hati bahwa, “Kenapa tas beliau tidak dipegang oleh ajudan?” “Apakah mereka tidak tahu tugasnya?”
Rasa penasaran itu mendorong saya untuk bergerak. Saat acara berlangsung, saya memanggil koordinator tim PAM VIP ke belakang. “Kenapa tidak dipegangkan tasnya ustaz presiden?” tanya saya. Jawabannya membuat saya tertegun. “Ustaz presiden sendiri yang minta untuk membawa tasnya sendiri,” ujarnya tenang.
Saya belum puas. Saya dekati ajudannya langsung, menanyakan hal yang sama. Dan jawabannya serupa. Bahkan ia menambahkan, “Ustaz bilang, biarkan saya bawa sendiri. Kalian cukup jaga tugas utama kalian yaitu pengamanan. Tapi tetap SeRSan serius tapi santai. Jangan merasa kaku, tapi tetap sigap.”
Jawaban itu begitu menancap dalam. Dari balik kesederhanaan itu, saya melihat sosok pemimpin yang memikul tanggung jawab bukan hanya secara simbolik, tetapi dalam tindakan nyata. Tak ingin merepotkan, tak ingin dilayani berlebihan, bahkan dalam urusan membawa tas sendiri.
Dan rupanya bukan itu saja. Berbagai momen saya menyaksikan sendiri, saya tahu bahwa ust presiden yang biasa turun langsung ke lapangan saat bencana. Ia angkat karung beras, pikul sembako, menyusuri banjir dan badai untuk memastikan bantuan sampai kepada warga yang terdampak. Dalam hujan, dalam lumpur, ust presiden hadir. Bukan untuk dipotret, tapi untuk menjadi bagian dari derita dan harapan rakyat.
Di dunia yang dipenuhi simbol, ia hadir sebagai substansi. Dalam zaman di mana banyak pemimpin ingin diangkat-angkat, ia memilih untuk merendah. Dalam riuh pujian dan fasilitas, ia memilih untuk membawa tasnya sendiri.
Bagi saya dan tim, itu bukan sebatas momen. Itu adalah pelajaran, teladan, dan pengingat tentang arti menjadi pelayan umat. Kepemimpinan bukan tentang siapa yang paling tinggi kursinya, tetapi siapa yang paling siap turun tangan, meski hanya untuk sebatas membawa tasnya sendiri.
Saya teringat pada kisah Umar bin Khattab yang memikul gandum di malam hari untuk rakyatnya. Seorang khalifah yang memilih gelapnya malam dan beratnya gandum di punggungnya daripada tidur nyaman di istana. Ia memikul sendiri karung gandum demi memastikan tidak ada rakyatnya yang kelaparan.
Kesederhanaan memang tidak selalu tampil di layar kaca. Ia hadir di balik layar, di balik sikap-sikap kecil yang justru menyampaikan pesan besar bahwa pemimpin sejati tidak tinggal di singgasana, tapi hidup di tengah umat, merasakan denyut kehidupan mereka, menanggung beban mereka, dan tidak segan kotor atau lelah demi kebaikan bersama. Inilah kepemimpinan yang tidak butuh sorotan, karena cahaya sejatinya terpancar dari ketulusan dan keberanian mengabdi.
Kesederhanaan
Kesederhanaan bukanlah simbol hampa, melainkan metode dakwah yang hidup. Di tengah godaan glamor politik, memilih jalan sunyi yakni tidak tampil glowing, tapi tetap bersinar dengan wibawa. Dalam falsafah Islam, ini disebut zuhud, bukan anti dunia, tapi tidak diperbudak olehnya.
Sebagaimana dalam teori Kepemimpinan Transformasional (Bass & Avolio) menyebut Idealized Influence sebagai inti bahwa pemimpin menjadi teladan moral. Dan Inspirational Motivation yakni menanamkan nilai luhur. Bahwa menjadikan kesederhanaan sebagai alat transformasi moral. Dalam diri, zuhud bukan hanya konsep, tapi cara hidup.
Max Weber menyebut asketisme sosial sebagai sumber otoritas moral. Maka wajar, bila publik menaruh hormat bukan karena kekuasaan, tapi karena keteladanan.
Tapak Kaki Seorang Pelayan
Kita tentu bisa terkagum-kagum pada rekam jejak akademik dan kepemimpinan ust Sohibul antara lain
Doktor dari Jepang (JAIST, 2004), Master dari Takushoku University Jepang, dan Sarjana dari Waseda University Jepang.
Pernah menjadi Rektor Universitas Paramadina (2005–2007), Wakil Ketua DPR RI, dan Presiden PKS (2015–2020). Kini, ust Sohibul adalah Anggota DPR RI 2024–2029 dan Ketua Majelis Syuro PKS 2025–2030.
Tapi dari semua itu, yang paling membekas bukan gelar atau jabatan, melainkan sikap hidupnya. Ia membawa tasnya sendiri, duduk di mobil biasa, memikul beras dalam misi kemanusiaan saat bencana, dan hadir dalam kesunyian pelayanan.
Dakwah Itu Teladan, Bukan Sekadar Wacana
Bahwa menjadi “Ummatan Wasathan” hanya bisa lahir dari pemimpin yang menjadi jembatan, bukan menara gading.” Dakwah bukan hanya gagasan megah, tapi laku hidup yang nyata. Dalam dunia yang makin materialistis, kesederhanaan adalah bentuk jihad melawan hegemoni gaya hidup yang menjauhkan kita dari nurani.
Seruan Nurani
Mari kembali pada jiwa awal dakwah (Asholah). Jiwa yang menjadikan dunia sebagai ladang amal, bukan panggung pertunjukan. Jiwa yang menempatkan rakyat di atas diri sendiri. Jiwa yang menjadikan kesederhanaan sebagai senjata paling tajam dalam perubahan.
Bahwa kesederhanaan bukan kekurangan, melainkan kematangan. Bahwa pemimpin besar tidak harus tinggi kursinya, cukup dalam akarnya di hati rakyat.
Inilah jalan sunyi para pemimpin. Jalan yang sepi dari pujian, tapi penuh keberkahan. Jalan yang tak selalu viral, tapi abadi dalam catatan langit.
Semoga kita bisa belajar dari pemimpin terdahulu dan meneladani bahwa politik adalah ladang dakwah, dan kesederhanaan adalah pupuk terbaiknya
Makassar, 5 Juni 2025

